Menelisik Pengaruh Perang Dagang Terhadap Indonesia
Sejak tanda-tanda perang dagang mulai muncul di awal tahun 2018, para pembuat kebijakan di negara-negara berkembang telah mencermati pengaruh apa yang bisa ditimbulkan konflik dagang antara Amerika Serikat dan China. Indonesia khususnya, adalah negara berkembang yang salah satu sumber pendapatannya berasal dari sektor perdagangan global. Dengan berkecamuknya perang dagang AS-China, akankah kondisi ekonomi Indonesia turut terdampak?
Harga Komoditas Paling Terpengaruh
Meningkatnya tensi perang dagang yang dipicu oleh pengenaan bea impor terhadap barang-barang tertentu, telah membuat permintaan komoditas melemah. Yang paling terasa tentu adalah sektor yang menjadi objek bea impor, yakni bahan pangan (khususnya kedelai) dan logam (khususnya besi dan baja). Industri logam merupakan sektor pertama yang dibidik AS dalam menaikkan tarif impor terhadap barang-barang China. Sementara itu, kedelai adalah komoditas yang dikenai bea impor balasan dari China terhadap AS.
Baca Juga :5 Broker Forex Terbaik Di Indonesia
Untuk Indonesia sendiri, pengaruh perang dagang bisa menjalar ke ekspor biodiesel dan Crude Palm Oil (CPO) atau minyak kelapa sawit. CPO khususnya adalah salah satu produk ekspor utama Indonesia. Sebelum perang dagang saja, permintaan terhadap CPO sudah surut sehingga suplainya berlebih. Dengan meningkatnya konflik dagang, harga CPO dikhawatirkan semakin merosot dalam beberapa bulan ke depan.
Dari perhitungan neraca bulan Mei 2018 silam, ekspor CPO dalam basis bulanan turun sebanyak 4 persen. Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif dari Asosiasi Produsen CPO Indonesia (Gapki), menghimbau pemerintah agar bisa menggalakkan konsumsi minyak kelapa sawit domestik. Selain dengan cara itu, memerangi turunnya harga CPO dunia juga bisa dilakukan dengan mencari tujuan ekspor alternatif ke benua Afrika. Area tersebut dinilai sangat potensial untuk meluaskan pasar CPO.
Selain komoditas CPO, sektor besi dan baja di Indonesia juga bisa merasakan pengaruh perang dagang AS-China. Yang dikhawatirkan adalah pengaruh tidak langsung berupa lonjakan impor logam dari berbagai negara. Untuk saat ini, fokus pemerintah tertuju untuk menyeimbangkan antara kepentingan pengusaha logam domestik dengan kebutuhan logam Indonesia untuk menyokong program pembangunan infrastruktur besar-besaran.
Baca Juga :Daftar Broker Forex Terbaik Dunia
Di luar itu, pasar logam Indonesia dinilai tak akan terlalu terpengaruh oleh konflik dagang. Hal ini karena AS bukanlah negara tujuan utama dari kegiatan ekspor logam Indonesia. Dari $1.83 miliar nilai ekspor logam Indonesia di tahun 2016, pengiriman ke AS hanya menyumbang sekitar $26.26 juta.
Meski demikian, tren harga komoditas yang terus menurun bisa membuat ekspor Indonesia terkoreksi atau bahkan lesu dalam beberapa waktu ke depan. Para pengusaha juga diperkirakan cenderung menahan diri, sembari menantikan badai perang dagang yang penuh ketidakpastian bisa segera mereda. Sampai saat itu tiba, melemahnya harga komoditas yang bisa berpengaruh pada tingkat ekspor senantiasa berisiko menghambat laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Selain itu, memburuknya ekspor yang nanti tercermin pada neraca perdagangan Indonesia bisa menyeret turun nilai tukar Rupiah.
Perang Dagang Bisa Berdampak Positif Untuk Indonesia
Selain risiko-risiko di atas, perang dagang AS-China rupanya juga menyuguhkan dampak positif yang bisa dimanfaatkan. Menurut Darmin, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Indonesia bisa memanfaatkan celah dari komoditas China yang dikenai bea impor oleh AS. Artinya, Indonesia bisa bersaing menawarkan produk terkait untuk menggantikan barang impor dari China yang telah mendapat batasan.
Baca Juga :Apa Itu Pasar Komoditi?
Selain itu, para pengusaha logam lokal dapat mendiversifikasi produk mereka, meski ada risiko dari peningkatan biaya produksi yang mesti dihadapi.
7 Cara Indonesia Mengantisipasi Pengaruh Perang Dagang
Menurut Sutrisno Iwantono dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), ada 7 cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk menghadapi perang dagang, yaitu:
1. Menjaga stabilitas ekonomi.
2. Menjaga kepercayaan publik.
3. Melakukan efisiensi belanja publik.
4. Melakukan inovasi baru dalam ekspor.
5. Melakukan diversifikasi produk.
6. Mencari alternatif baru tujuan ekspor, dan
7. Menjaga koordinasi antar menteri agar tidak terjadi kepanikan.