Mengenal Apa Itu Article 50
Article 50 adalah klausul dalam Perjanjian Lisbon Uni Eropa (UE), tentang langkah-langkah apa saja yang harus diambil oleh sebuah negara yang ingin memisahkan diri dari kesatuan UE. Memicu Article 50 sama artinya dengan memulai proses pemisahan secara formal. Tindakan tersebut juga menandakan pernyataan resmi dari negara yang bersangkutan untuk meninggalkan Uni Eropa.
Perdana Menteri Inggris Theresa May menjadi pemimpin negara pertama yang memicu Article 50 pada 29 Maret 2017. Tindakan ini menyusul hasil referendum Brexit yang digelar di Inggris pada pertengahan tahun 2016. Meski perselisihan di pengadilan dan Parlemen telah membebani inisiasi pemicuan Article 50, pemerintah Inggris tetap melenggang untuk melakukan langkah tersebut pada akhir Maret 2017.
Sekilas Tentang Article 50
Didirikan pada tahun 1957 dengan nama European Economic Community (EEC atau Masyarakat Ekonomi Eropa “MEE”), Uni Eropa awalnya bertujuan untuk mendukung pemulihan ekonomi negara-negara anggotanya setelah kehancuran yang ditimbulkan Perang Dunia II. Awalnya, member Uni Eropa hanya terdiri dari 6 negara, yakni Belanda, Prancis, Belgia, Jeman Barat, Luksemburg, dan Italia. Namun pada tahun 1973, Inggris, Denmark, dan Irlandia bergabung.
UE kemudian secara resmi dibentuk pada tahun 1992 melalui Perjanjian Maastricht. Pada tahun 1995, anggota UE sudah berkembang menjadi 15 negara yang melingkupi wilayah Eropa bagian barat. Dari tahun 2004 hingga 2007, Uni Eropa mengalami ekspansi terbesar dengan meresmikan 12 negara anggota baru, termasuk negara-negara eks komunis.
Menyusul pembengkakan jumlah anggota Uni Eropa, Perjanjian Lisbon dibuat dengan tujuan “meningkatkan efisiensi dan legitimasi demokrasi Uni Eropa, serta memperbaiki koherensi dari setiap langkah-langkah yang diterapkan”. Perjanjian tersebut kemudian ditandangani oleh 27 negara anggota pada tahun 2007, dan berlaku efektif di tahun 2009. Ada 2 bagian penting dalam Perjanjian Lisbon, yakni Perjanjian Tentang Uni Eropa (Treaty on European Union atau TEU) dan Perjanjian Tentang Operasional Uni Eropa (Treaty on the Functioning of the European Union atau TFEU). Secara keseluruhan, ada 358 klausul dalam Perjanjian Lisbon.
Article 50 dalam Perjanjian tersebut menjelaskan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan proses keluarnya sebuah negara anggota dari Uni Eropa. Berikut adalah terjemahan dari isi ayat-ayatnya:
1. Setiap negara anggota boleh memutuskan untuk menarik diri dari Uni Eropa sesuai dengan ketentuan konstitusionalnya.
2. Sebuah negara anggota yang memutuskan untuk menarik diri harus menginformasikan rencananya pada Dewan Uni Eropa. Sesuai dengan panduan Dewan, Uni Eropa selanjutnya akan mengadakan negosiasi dan mencapai kesepakatan dengan negara terkait, untuk menentukan rencana penarikan diri dari Uni Eropa, yang turut memperhitungkan rancangan kerja tentang hubungan negara terkait dengan Uni Eropa di masa depan. Perjanjian tersebut hendaknya dinegosiasikan sesuai dengan Article 218(3) dari Treaty on the Functioning of the European Union. Penjanjian itu juga dibuat atas nama Dewan, yang bertindak sebagai perwakilan mayoritas yang telah memenuhi kualifikasi, dan telah memperoleh persetujuan dari Parlemen Eropa.
3. Kesepakatan-kesepakatan (yang diberlakukan selama menjadi anggota Uni Eropa) tidak akan berlaku untuk negara yang bersangkutan sejak tanggal berlakunya perjanjian penarikan. Jika negosiasi gagal, 2 tahun setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, maka Dewan dengan pesetujuan negara terkait memutuskan untuk memperpanjang periode ini dengan suara bulat.
4. Terkait dengan ayat 2 dan 3, anggota Dewan Uni Eropa atau Dewan yang mewakili negara calon eks anggota tidak bisa berpartisipasi dalam rapat Dewan dalam hal pengambilan keputusan mengenai perkara ini.
Perwakilan mayoritas yang memenuhi kualifikasi akan ditentukan sesuai dengan Article 238(3)(b) dari Treaty on the Functioning of the European Union.
5. Jika negara anggota yang telah mengundurkan diri ingin bergabung kembali, maka permintaannya akan diproses sesuai prosedur yang tertuang dalam Article 49.
Article 50 menjadi perdebatan serius dalam periode krisis utang negara-negara Eropa yang berlangsung antara 2010 hingga 2014, tepatnya ketika perekonomian Yunani terjun bebas. Dalam upaya menyelamatkan Euro dan Uni Eropa, para pimpinan mempertimbangkan untuk mengeluarkan Yunani dari keanggotaan Uni Eropa. Masalahnya, tidak ada ayat yang mengatur pengeluaran paksa suatu negara dari Uni Eropa di Article 50. Selain itu, mencabut keanggotaan Yunani dipandang tidak terlalu berefek. Pada akhirnya, Yunani berhasil mencapai kesepakatan dengan para kreditornya di Uni Eropa.
Article 50 Dan Brexit
Pada tanggal 23 Juni 2016, mayoritas penduduk Inggris memilih setuju untuk meninggalkan Uni Eropa dalam suatu referendum yang disebut dengan Brexit. Meski sebelumnya sudah ada beberapa negara yang meninggalkan Uni Eropa (Algeria, Greenland, dan Saint Barthelemy), tapi Inggris menjadi negara pertama yang keluar dari keanggotaan organisasi tersebut sesuai dengan pengaturan Article 50.
Di bulan November 2016, Mahkamah Agung Inggris memutuskan bahwa Parlemen harus menyetujui pemicuan Article 50. Akan tetapi, RUU pemerintah mendapat hambatan dari Majelis Tinggi (House of Lords) yang ingin menambahkan dua amandemen; satu untuk mengikutsertakan persetujuan Parlemen sebagai syarat tercapainya kesepakatan akhir, dan satunya lagi untuk memungkinkan warga asing berkewarganegaraan Uni Eropa agar bisa tetap tinggal di Inggris. Majelis Rendah (House of Commons) menghapus kedua amandemen tersebut pada tanggal 13 Maret, membuat Majelis Tinggi meloloskan RUU di hari yang sama. Kebijakan tersebut kemudian disetujui dan diresmikan pada 16 Maret.
Sementara itu, Theresa May menjanjikan akan memicu Article 50 pada akhir Maret 2017. Sekalipun konflik legislatif yang melibatkan Majelis Tinggi dan Majelis Rendah menciptakan kekhawatiran akan tertundanya deadline, pemerintah Inggris akhirnya berhasil mengirimkan notifikasi formal ke Brussel pada 29 Maret 2017.
Tahap Negosiasi
Setelah mengirim pemberitahuan, Inggris dan negara-negara anggota Uni Eropa lain memiliki tenggat waktu 2 tahun untuk bernegosiasi mengenai relasi baru di masa depan. Diskusi ini hampir pasti berjalan alot, bukan hanya karena momen ini akan menjadi pemberlakuan Article 50 untuk pertama kalinya, tapi juga karena pertaruhan nasib 3 juta warga Uni Eropa yang tinggal, bekerja, dan menempuh pendidikan di Inggris. Selain itu, jutaan warga Inggris juga melakukan hal yang sama di negara-negara Uni Eropa.
Selain masalah migrasi, Inggris juga perlu memperhitungkan hubungan macam apa yang akan dijalankannya dengan pasar tunggal (Single Market) Uni Eropa. May telah menumpas kemungkinan berlangsungnya keanggotaan Inggris dalam hal tersebut, tapi tetap ingin mencari cara untuk mendapat “akses sebaik mungkin melalui perjanjian perdagangan bebas yang baru, komprehensif, berani, dan ambisius”.
Perkara pelik lain yang perlu dinegosiasikan meliputi pensiun, kerjasama keamanan, dan regulasi.
Mengingat negara-negara anggota lain juga memiliki kelompok seperti UKIP Inggris yang mendorong pengunduran diri dari Uni Eropa melalui jalan referendum, UE kemungkinan besar perlu bertindak tegas, dengan mencontohkan bahwa keluar dari keanggotaan adalah pilihan yang buruk. Caranya? Tak lain dan tak bukan adalah dengan memberikan kesepakatan buruk bagi Inggris dalam proses negosiasi.
Skenario Deal Atau No Deal
Katakanlah persetujuan final akhirnya berhasil dibuat, maka Inggris selanjutnya tidak akan menjadi bagian dari Uni Eropa lagi. Negara tersebut juga bakal kehilangan manfaat yang telah dinikmatinya dari perjanjian-perjanjian dagang dengan lebih dari 20 negara anggota Uni Eropa lainnya.
Namun apabila tidak ada kesepakatan sampai tenggat waktu 2 tahun yang ditetapkan, maka Inggris dan negara-negara anggota UE perlu menyetujui perpanjangan waktu deadline dengan suara bulat. Jika tidak, maka Inggris terpaksa keluar tanpa kesepakatan apapun, yang akan mengantarkan kemelut ini pada aturan WTO (World Trade Organization). Bagaimanapun juga, Inggris adalah anggota WTO melalui Uni Eropa. Rincian mengenai keanggotaan independen tetap perlu dibuat dan direncanakan, termasuk hal pembagian kuota ekspor impor.