Perdagangan Turun, GDP Jepang Akhiri Masa Pertumbuhan

Perekonomian Jepang menurun tidak sesuai dengan perkiraan pada awal tahun ini, diperkirakan pertumbuhan akan memuncak setelah pertumbuhan terbaik terjadi pada ekspansi selama 10 tahun terakhir. Hal ini menjadi berita yang kurang menyenangkan bagi pemerintah yang tengah berjuang menarik perhatian dunia dengan kebijakan reflationary-nya.

Negara yang menjadi 3rd world largest economy ini menyusut perekonomiannya sebesar 0,6 persen secara tahunan, sangat jatuh dibanding dengan nilai rata-rata penyusutan tahunan sebesar 0,2 persen.

Penyusutan besar ini, diawali dengan adanya penurunan dalam bidang investasi dan konsumsi serta melemahnya pertumbuhan ekspor Jepang, muncul pula kekhawatiran atas Japan Inc terhadap akibat yang mungkin terjadi dari kebijakan eksport  proteksionis yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump.

Dan juga yang menjadi perhatian adalah Bank Sentral yang sangat rentan terhadap ‘financial shock’ setelah 5 tahun mengalami stimulus keuangan yang berat untuk mempertahankan pertumbuhannya.

Menteri perekonomian Jepang, Toshimitsu Motegi mengatakan : tidak ada perubahan pada pandangan ekonomi pemerintah yang memperkirakan akan adanya permulihan ekonomi secara moderat, diprediksi pertumbuhan akan kembali terjadi didorong oleh dua faktor utama, yakni konsumsi individu serta belanja modal.

“namun kita harus tetap waspada akan dampak dari ketidakpastian perekonomian dunia serta gejolak pasar” kata beliau.

Permintaan luar negeri - atau ekspor yang dikurangi impor - hanya menambahkan 0,1 poin persentase pada GDP di triwulan pertama tahun ini, karena laju impor jauh lebih lamban dibandingkan ekspor.

Namun, rincian data yang ditampilkan telah menunjukan bahwa pertumbuhan ekpor telah kehilangan momentum, nilai pertumbuhan hanya sekitar 0,6 persen pada triwulan pertama setelah sebelumnya tumbuh sebesar 2,2 persen pada Oktober-Desember tahun kemarin.

Lambatnya pertumbuhan ekspor menandakan adanya penurunan pada pengiriman komponen mobile phone serta kebutuhan pabrik pada kuartal ini, menurut pemerintah.

Hal ini menjadi penting bagi manufaktur Jepang karena banyak dari mesin serta komponen elektronik yang dikirimkan ke China dan digunakan untuk memproduksi barang untuk di ekspor kembali. Namun, perdagangan ini akan menjadi beresiko ketika pemberlakuan tarif pada ekpor China dilakukan oleh Trump.

“Secara Global, item-item yang berhubungan dengan IT telah berada dalam masa penyesuaian, hal yang menekan ekpor Jepang dan output pabrik.” kata Yoshimasa Maruyama seorang kepala ekonom pasar di SMBC Nikko Securities.

Para ahli ekonomi mengatakan bahwa pelemahan Jepang pada triwulan pertama hanya bersifat sementara, tapi kemungkinan rebound tidak sekuat dengan triwulan sebelumnya.

“Perekonomian tidak menuju resesi,” kata Hiroshi Miyazaki, ekonom senior di Mitsubishi UFJ Morgan Stanley Securities. “Namun, jelas bahwa dalam jangka panjang laju pertumbuhan akan terus melambat.”

Data pada hari rabu ini, menandai berakhirnya ekspansi ekonomi Jepang  selama 8 tahun berturut-turut, yang merupakan rantai pertumbuhan ekonomi yang luar biasa sejak kuartal 12 antara April-Juni 1986 dan Januari-Maret 1989.

Pelemahan pada kuartal pertama ini dapat membuat pemerintah Jepang lebih enggan untuk menaikkan pajak penjualan menjadi 10 persen dari sebelumnya 8 persen yang dijadwalkan akan dilakukan pada tahun depan.

Pajak penjualan naik menjadi 5 persen dari sebelumnya 3 persen pada tahun 2014 yang mengakibatkan penurunan besar pada pengeluaran konsumen dan menuntun perekonomian Jepang menuju resesi.

“Data revisi GDP tahun 2017 telah menunjukan bahwa perekonomian telah mulai melambat sejak permulaan tahun. Dan  penurunan ekonomi bulan januari-maret dapat membantu untuk mengurunkan niat pemerintah menaikkan pajak” kata Kyohei Morita, kepala ekonom di Credit Agricole Securities.

Recent Post