Silang pendapat tentang Brexit antara orang nomor satu di Inggris, Perdana Menteri Theresa May, dan orang nomor satu Skotlandia, First Minister Nicola Sturgeon, mendorong Pounds melemah dalam perdagangan hari Selasa hingga Rabu dini hari ini (21/12). GBP/USD terpuruk hingga menyentuh 1.2313, terendah sejak 22 November. Pounds masih unggul versus Yen, tetapi EUR/GBP mengalami kenaikan untuk hari kedua berturut-turut.
Skotlandia Ancam Akan Memisahkan Diri
PM May dan Nicola Sturgeon menyampaikan visi mereka masing-masing tentang Brexit pada hari Selasa. May mensinyalkan dukungannya bagi periode transisi Brexit. Namun, ketika ditanya oleh anggota parlemen, ia juga mengatakan bahwa apabila Skotlandia akan memisahkan dari Inggris, maka takkan lagi bisa jadi anggota Uni Eropa. May pun menilai tak ada perlunya bagi pemerintah Skotlandia untuk menggelar referendum kemerdekaan lagi, seperti yang telah diselenggarakan dan berakhir nihil di tahun 2014.
Pandangan PM May itu sangat berbeda dengan visi Sturgeon, yang memimpin partai pro-kemerdekaan Scottish National Party (SNP) sekaligus mengepalai pemerintahan Skotlandia di Edinburgh. Sturgeon mengungkapkan keinginannya agar Skotlandia tetap bertahan dalam kesatuan pasar Uni Eropa setelah Brexit, sekaligus menekankan hasrat untuk mendapatkan lebih banyak kekuatan guna melindungi kepentingan Skotlandia. Pandangan tersebut disampaikannya setelah publikasi dokumen pemerintah berjudul “Scotland’s Place In Europe” yang mencakup opsi kemerdekaan dari Inggris.
Patut untuk dicatat bahwa dalam referendum 23 Juni yang dimenangkan oleh kubu pendukung Brexit di tingkat nasional Inggris, wilayah Skotlandia sepenuhnya memilih tetap tinggal dalam kesatuan Uni Eropa. Aspirasi ini sejalan dengan hubungan dagangnya dengan negara-negara Uni Eropa lain dan keinginan untuk mempertahankan akses ekonomi selain dengan negara induknya, Inggris.
Pasca Referendum Brexit, Ekonomi Inggris Masih Wajar
Silang pendapat tentang Brexit ini kemungkinan akan terus berlanjut hingga PM May memicu Article 50 yang menandai dimulainya prosedur keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Namun, dimulainya prosedur tersebut tak menjamin keutuhan Inggris setelahnya, mengingat Skotlandia terus menerus mengancam akan memisahkan diri.
Pasar finansial lebih sensitif menanggapi kabar ini, sehingga sejalan dengan terpuruknya Pounds, yield obligasi pemerintah Inggris untuk tenor 10-tahunan menanjak. Meski begitu, Martin Essex dari DailyFX menyatakan hanya ada sedikit tanda-tanda “penderitaan” pada ekonomi Inggris gegara Brexit. Data terbaru Distributive Trades Survey dari Confederation of British Industry (CBI) menunjukkan belanja konsumen membubung di kuartal keempat tahun 2016. Indeks FTSE 100 yang mendaftar saham-saham terbesar London pun bergeming.