Dampak Kebijakan Trump Terhadap Dolar AS
Dampak Kebijakan Trump Terhadap Dolar AS ? Sejak pelantikan Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat pada awal tahun 2017, nilai tukar Dolar AS terus menerus menurun. Indeks Dolar AS (DXY), yang menjadi barometer kekuatannya terhadap sejumlah mata uang mayor, merosot dari kisaran 101-103 pada Januari 2017 hingga mencapai sekitar 90an pada Januari 2018, dan melorot lagi ke sekitar 88an di awal Februari. Padahal, suku bunga acuan bank sentral AS (Fed Rate) mengalami kenaikan.
Kenaikan suku bunga acuan biasanya mendorong orang-orang untuk membeli suatu mata uang, dikarenakan tingginya ekspektasi return (imbal hasil) investasi, bahkan meski dana hanya disimpan di bank atau dibelikan obligasi saja. Namun, setelah bank sentral AS menaikkan suku bunga di tahun 2017, setelah pelantikan Presiden Trump, situasi Dolar AS bukannya menguat malah melemah. Di mata sebagian pihak, hal ini merupakan Dampak Kebijakan Trump.
Sejumlah Dampak Kebijakan Trump yang dianggap kontroversial dan menggerogoti legitimasi Dolar AS di mata dunia. Diantaranya:
1. Menuntut Renegosiasi NAFTA.
NAFTA merupakan kerjasama perdagangan dan ekonomi antara Amerika Serikat dengan dua negara tetangganya, Kanada dan Meksiko, yang telah berlangsung sejak 1994. Berdasarkan perjanjian tersebut, arus pertukaran barang dan jasa maupun perpindahan orang antar ketiga negara menjadi lebih mudah tanpa banyak kerumitan sebagaimana berlaku bagi negara lainnya.
NAFTA semestinya telah membawa banyak keuntungan bagi AS, Kanada, dan Meksiko, dengan misinya untuk bersama-sama memajukan kawasan Amerika Utara. Namun, Presiden Donald Trump menyatakan bahwa AS dirugikan oleh perjanjian tersebut. Ia pun mengancam akan mengeluarkan AS dari NAFTA jika Kanada dan Meksiko tak mau melakukan renegosiasi dan memberikan konsesi lebih besar bagi AS.
Perlu diperhatikan bahwa Kanada dan Meksiko merupakan “teman” Amerika Serikat. Sikap Trump yang konfrontatif dengan sendirinya bukan hanya merugikan kedua negara tersebut, melainkan juga nama baik AS.
2. Kebijakan Proteksionisme Dagang.
Jika terhadap dua sahabat AS saja, Trump mengancam akan pecah kongsi, lalu bagaimana dengan negara-negara lain yang hubungannya lebih renggang? Tentu sikapnya lebih keras, terutama terhadap Tiongkok dan Korea Selatan yang banyak mengekspor barang-barang murah ke AS.
Sejak masa kampanyenya, Presiden Donald Trump telah berulang kali mengancam akan meningkatkan “halangan impor” dari Tiongkok ke AS. Hal ini akhirnya dimulai pada pertengahan Januari 2018, dengan AS menaikkan bea impor tinggi antara 20% hingga 50% atas produk panel surya dan mesin cuci, yang notabene merupakan dua komoditas keluaran pabrikan Tiongkok dan Korsel.
Sepintas, hal ini tentu akan menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan AS, karena pesaingnya berkurang. Namun, kita perlu memahami hubungan dagang internasional sebagai relasi resiprokal. Setiap negara dapat menentukan sendiri apakah akan menetapkan peraturan yang saling menguntungkan atau saling merugikan. Akibatnya, tindakan konfrontatif Trump justru dipandang berisiko bagi kepentingan perusahaan-perusahaan AS di luar negeri dan memunculkan risiko terjadi perang dagang dalam skala internasional.
3. Memangkas Pajak Korporasi dan Individual.
Setelah melampaui perjuangan sengit di Parlemen, Presiden Donald Trump akhirnya mengesahkan pemangkasan pajak korporasi dan individual pada Desember 2017. Kebijakan ini diharapkan dapat menggairahkan perekonomian, mendorong perusahaan-perusahaan untuk menyerap lebih banyak karyawan, dan berekspansi untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan. Akan tetapi, dampak-dampak positif ini dikhawatirkan hanya akan berlangsung dalam jangka pendek.
Masalahnya, pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara. Biarpun sumber pendapatannya berkurang, tidak lantas berarti kebutuhan dana negara AS ikut menyusut, sehingga pemerintah harus menerbitkan lebih banyak surat utang (obligasi) sebagai sumber dana berikutnya. Oleh karena itu, sebagai akibat dari pemangkasan pajak, utang negara AS diperkirakan akan membengkak hingga 1 trilyun dalam setahun ke depan saja.
Lebih buruk lagi, sebagian pembeli obligasi AS (atau dengan kata lain, orang-orang yang meminjamkan uangnya bagi pemerintah AS) adalah orang-orang dari luar negeri, seperti Tiongkok dan Jepang. Apabila kondisi perang dagang yang dikhawatirkan di poin dua di atas benar-benar terjadi, maka dimungkinkan negara-negara ini bisa menggunakan obligasi AS sebagai “amunisi” dan mengobrak-abrik perekonomiannya.
Demikianlah sedikit ulasan mengenai Dampak Kebijakan Trump Terhadap Dolar AS. Untuk saat ini, kebijakan-kebijakan baru saja diterapkan, sehingga belum dapat diukur dampak sesungguhnya, melainkan baru sekedar “perkiraan”. Namun, perkiraan ini saja sudah membuat para investor khawatir, sehingga cenderung enggan membeli Dolar AS.
Apabila kelak ternyata realita tak seburuk perkiraan, maka Dolar AS bisa bangkit kembali. Akan tetapi, jika ternyata memang sesuai yang dikhawatirkan atau malah lebih buruk lagi, maka bukan tak mungkin pula negara-negara di dunia akan makin menjaga jarak dari AS dan berusaha mencari mata uang selain Dolar AS untuk dijadikan cadangan devisa utama. Ketika hal itu terjadi, maka nilai tukar mata uang Dolar AS bisa benar-benar terkubur.
Baca Juga: Konferensi Pers Trump Jatuhkan Dolar AS.