Dalam sebuah laporan analisa forex dari bank multinasional asal Jerman, Deutsche Bank (DB), Poundsterling ditunjuk sebagai mata uang nomor tiga paling “undervalued” di antara 31 mata uang dunia lainnya dalam periode awal 2017 ini. Bagaimana trader sebaiknya menyikapinya?
Analisa Forex Dengan DBEER Model
Analisa forex dilakukan DB berdasar DBeer Model; model khas DB yang diolah dari model BEER (Behavioral Equilibrium Exchange Rate), sebuah metode untuk menghitung valuasi mata uang populer di kalangan ekonom. Model tersebut berupaya mengukur apakah sebuah mata uang itu overvalued atau undervalued dibandingkan dengan kondisi perekonomiannya.
Dari hasil pengukuran model tersebut, DB menyimpulkan bahwa Pounds termasuk tiga besar paling undervalued, bersama Ringgit Malaysia dan Peso Meksiko. Sedangkan Yuan China kini merupakan mata uang nomor tiga paling overvalued (nilainya jauh lebih tinggi dibanding kondisi ekonominya), dengan Dolar AS di nomor dua dan Real Brazil di nomor satu. Menurut Poundsterling Live, penilaian tersebut sesuai dengan hasil pengamatan yang menyebutkan bahwa Sterling melorot sekitar 15% dalam tahun 2016, meskipun ekonomi Inggris termasuk negara G10 dengan laju pertumbuhan tertinggi dalam tahun yang sama.
Belum Tentu Pounds Bakal Pulih
Bagi trader yang memiliki pandangan jangka panjang, laporan DB yang menyebutkan Pounds dalam kondisi undervalued ini bisa mengindikasikan bahwa mata uang tersebut akan mengalami pemulihan dalam bulan-bulan yang akan datang. Akan tetapi, nyatanya pelaku pasar tak memiliki satu cara pun yang bisa memastikan berapa lama sebuah mata uang akan berada dalam kondisi undervalued.
Yen Jepang, misalnya, sudah bertahun-tahun dalam kondisi undervalued karena langkah-langkah pemerintahnya sendiri yang ingin meningkatkan daya saing ekspor negaranya. Sedangkan khusus bagi Pounds saat ini, besarnya ketidakpastian seputar proses Brexit yang tidak transparan masih membebani.
“Kami meyakini adanya risiko lebih luas bagi GBP untuk terus berada di sisi bawah -setidaknya hingga risiko imbas ‘perceraian yang kacau’ sudah tak lagi menjadi pusat perhatian,” uangkap Viraj Patel dari ING London. Lanjutnya lagi, “GBP kemungkinan akan terkena imbas dari kurangnya transparansi politik; sementara ketidakpastian lebih lanjut tentang berapa besar akses Inggris kelak ke pasar tunggal Uni Eropa, bisa memunculkan risiko-risiko baru yang belum diperhitungkan sebelumnya.”
Namun, itu juga bukan berarti Pounds akan terus menerus merosot. Jika perusahaan-perusahaan dan sentimen bisnis tetap positif dan bisa beradaptasi dengan cepat, maka perekonomian mungkin takkan terlalu “menderita” di tengah rumitnya proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Data ekonomi yang lebih baik, pada gilirannya dapat mendukung Pounds dan mendorong nilai mata uang ini menanjak lebih tinggi.