Brexit No-Deal Diperkirakan Berdampak Buruk Bagi Eropa dan Dunia, termasuk Indonesia!
Warga Inggris pada akhirnya akan merasakan perekonomian negara mereka mundur. Di Uni Eropa, perekonomi akan menyusut sebesar 1,5% selama dekade berikutnya. Adapun pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global ini akan kembali ke laju yang paling lambat sejak 2009.
Perkiraan seperti ini akan terjadi jika Parlemen Inggris menolak perjanjian Brexit dari Perdana Menteri Theresa May dan negara tersebut tersingkir dari Uni Eropa beserta dengan bebasnya negara tersebut dari peraturan World Trade Organization.
Perkiraan tersebut, yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir ini, mencerminkan adanya peningkatan ketidakpastian di kalangan konsumen bisnis karena prospek untuk terjadinya Brexit no-deal tampak lebih memungkinkan menjelang tenggat waktu kesepakatan yang jatuh pada 29 Maret.
Baca juga: Sterling Naik dan Euro Sedikit Melemah terhadap dolar di Tengah Drama Brexit
Ketidakpastian ini akan memperburuk volatilitas di antara mata uang pasar negara berkembang karena investor akan menarik investasi dari pasar yang dianggap berisiko dan memparkirkan dalam aset yang didominasi oleh dolar AS, kata Harry Su, direktur pelaksana dan kepala pasar modal ekuitas di Samuel International di Jakarta.
Dolar AS yang lebih tinggi biasanya akan mengurangi harga komoditas dan mata uang, di mana harga sektor energi, logam dan pangan, akan memukul negara-negara berkembang besar seperti Indonesia dan Brasil sementara negara dengan ekonomi terbesar, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Tiongkok akan berjuang untuk bertahan.
“Ini akan menciptakan kompleksitas dan volatilitas pada saat ekonomi global melambat,” kata Su kepada The Straits Times, merujuk pada Brexit no-deal.
Awal bulan ini, Bank Dunia mengatakan bahwa pertumbuhan PDB AS akan melambat sebesar 2,5%, mencetak laju paling lambat sejak 2009 ketika mengalami kontraksi sebesar 1,7%. Sementara itu, perekonomian Tiongkok akan berkembang sebesar 6,5%, dibandingkan dengan tahun lalu sebesar 6,9%. UE akan tumbuh sebesar 1,6%, tiga poin persentase lebih lambat dari tahun lalu.
Tahun lalu, kekhawatiran tentang defisit anggaran di antara negara-negara berkembang memicu penurunan mata uang mereka, termasuk lira Turki, peso Filipina, dan rupiah Indonesia. Sehingga para investor menginvestasikan miliaran dolar dalam aset berdenominasi dolar AS tepat ketika Federal Reserve AS menaikkan suku bunga.
Mata uang negara berkembang pun kemudian kembali sedikit pulih.
Rupiah, misalnya, telah mencabut kembali sekitar 8% dari nilainya sejak November, yang disebabkan oleh kenaikan suku bunga bank sentral sejak bulan Mei lalu. Namun, rupiah masih turun sebesar 6% dari levelnya pada 12 bulan yang lalu, sebagian besar disebabkan karena defisit transaksi berjalan yang melebar menjadi 3,4% selama tiga bulan hingga September lalu.
“Brexit no-deal akan berdampak buruk bagi Indonesia,” kata Su.
Prospek Brexit no-deal sudah jelas akan berdampak buruk bagi Inggris.
Pada bulan November, International Monetary Fund mengatakan bahwa perekonomian Inggris mungkin pada akhirnya akan menyusut sebanyak 8% jika negara tersebut meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan, dan menyerahkan keuntungan yang telah diperoleh dengan susah payah setelah satu dekade ketika rata-rata PDB tumbuh sebesar 1% per tahun.
Sementara eksportir mendapatkan manfaat dari pound Inggris yang lebih murah dan tingkat suku bunga yang lunak, investasi akan semakin berkurang. Investasi bisnis melambat dari 2,4% per tahun pada akhir 2017 menjadi 1,8% per tahun, menurut data pemerintah terbaru.
Ketidakpastian ini telah berdampak pada kepercayaan konsumen Inggris, kata UBS dalam sebuah laporan penelitiannya kemarin. Penelitian bank investasi menunjukkan bahwa konsumen telah pesimis akan pandangan mereka sejak sebelum diajukannya referendum 2016 ketika para perwakilan negara memilih Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa, tulis ahli strategi UBS John Wraith dalam laporan tersebut.
Sementara itu dampak ekonomi tidak langsung dari Brexit no-deal adalah munculnya prospek yang suram bahwa Uni Eropa dan Inggris akan terlepas dari urusan dunia dan mereka telah terganggu oleh pergolakan internal pada saat Tiongkok dan Rusia memperluas pengaruh mereka, kata Dr Marty Natalegawa, ujar mantan menteri luar negeri Indonesia.
Baca juga: Pasar Bervariasi Setelah Hasil Pemungutan Suara Brexit
“Brexit no-deal dapat berarti Eropa yang menjadi semakin sibuk dengan urusan internalnya sendiri, dan akan semakin terlepas dari pembangunan global,” katanya kepada The Straits Times.
Kecuali jika margin kekalahannya massif—lebih dari 150 suara, misalnya—PM May akan berada dalam posisi untuk memeras lebih banyak konsesi dari UE dan mengamankan suara mayoritas dalam pemungutan suara kedua, “kata Wraith.
“Pada titik kritis dalam perkembangan regional dan global, sudah ada defisit kepercayaan terhadap kepemimpinan dan pemerintahan. Hal ini bukanlah keadaan yang dapat disambut dengan baik,” tambah Dr Marty.
Wraith mengatakan, pada akhirnya mungkin akan terdapat kesepakatan bahkan jika pemungutan suara nantinya gagal. Parlemen yang terpecah belah akan berjuang untuk mendukung skenario apa pun, termasuk referendum kedua, atau perpanjangan tenggat waktu.
“Dalam pandangan kami, bukti dari perjanjian penarikan tersebut cenderung cukup untuk memenangkan konsesi mendatang, karena hal ini juga sangat penting bagi prospek ekonomi mereka.”
Sumber: straitstimes.com