Jakarta dan Manila Memimpin Pasar Saham Negara Berkembang di Asia
Indeks saham di Filipina dan Indonesia telah mengungguli negara-negara berkembang lainnya di Asia.
Indeks Performansi Selama Tiga Bulan
Setelah melalui periode yang penuh sengketa perdagangan dan pelemahan mata uang, beberapa pasar negara berkembang di Asia telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Mereka telah didorong oleh komentar dovish dari Ketua Federal Reserve Jerome Powell dan gencatan senjata sementara antara AS-Tiongkok.
Apa yang Sedang Terjadi?
Terdapat dua tolok ukur yang menonjol: Jakarta Composite Indonesia telah memperoleh lebih dari 10% dalam tiga bulan terakhir dan mencapai level tertingginya dalam 10-bulan, meskipun sempat turun 0,4% pada hari Senin lalu.
Sementara itu, Indeks Bursa Efek Filipina telah melonjak sebesar 15,9% menjadi level tertingginya dalam sembilan bulan pada penutupan hari Senin lalu, setelah melewati ‘palung’ selama hampir dua tahun pada bulan Oktober lalu. Rupiah Indonesia dan peso Filipina telah naik masing-masing sekitar 7% dan 3%, karena melemahnya dolar AS.
Baca juga: Perkembangan Pasar Asia Pasifik sebagai Dampak Perubahan Ekonomi Global
Valuasi yang relatif menarik mungkin menjadi alasan dibalik semua ini. Bahkan setelah kenaikan ini, saham di Jakarta dan Manila diperdagangkan dengan pendapatan yang diperoleh sekitar 15 dan 16 kali pendapatan yang diharapkan, menurut data Refinitiv, versus data Sensex India yang menunjukkan angka 18 kali. Sensex, yang naik hampir sebesar 6% tahun lalu, telah kehilangan hampir 1% pada bulan ini.
Penurunan harga minyak juga mendorong Indonesia, sebagai negara ekonomi terbesar di Asia Tenggara, dan negara tetangganya di utara, karena keduanya adalah pengekspor minyak dengan defisit transaksi berjalan. Berbeda dengan Malaysia yang berada di dekatnya, misalnya, yang merupakan pengekspor energi.
Apa Artinya Hal Ini?
Pasar domestik substansial dari kedua negara ini membuat mereka lebih terisolasi dari gesekan perdagangan dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang lebih bergantung pada Tiongkok.
Min Lan Tan, kepala kantor investasi Asia-Pasifik di UBS Wealth Management, mengatakan bahwa unit bank ini merekomendasikan klien untuk memiliki lebih banyak aset Indonesia, berkat pertumbuhan yang solid, penilaian yang menarik, dan prospek mata uang yang lebih kuat.
Baca juga: Risiko Besar Bagi Pasar Negara Berkembang di Tahun 2019
Tan juga mengatakan bahwa bank sentral Indonesia telah bekerja dengan baik dengan membiarkan mata uang rupiah jatuh pada tahun lalu, ketika dolar melonjak, untuk membantu menjaga pertumbuhan ekonomi.
Dia kurang merekomendasikan Filipina karena adanya kekhawatiran akan inflasi, dan mengambil sikap yang lebih netral terhadap India berdasarkan valuasi kekayaannya, dibalik adanya pertumbuhan ekonomi yang kuat.
Kalender politik yang padat juga dapat berperan dalam keputusan investasi. Pada beberapa bulan mendatang akan terdapat pemilihan presiden di Indonesia tepatnya pada bulan April, pemilihan jangka menengah di Filipina tepatnya pada bulan Mei dan pemilihan nasional di India tepatnya pada semester pertama tahun ini.
Sumber: wallstreetjournal.com